Saat Hati Berbicara

“Mari berdamai dengan diri sendiri, barulah berdamai dengan keadaan dan mulai lah menerima kenyataan, bahwa kita hidup didunia tidaklah hanya untuk diri kita sendiri”

          November, 1970...
Hidupku dimulai saat itu, Raffika Azzahra. Aku adalah anak ke empat dari lima bersaudara, ayahku adalah seorang jendral angkatan darat. (aku tidak begitu peduli pada jabatannya) namun aku sangat menyayangi dan mencintai ayahku. Ibu ku adalah seorang yang biasa saja, ibu rumah tangga seperti semua ibu didunia ini.
Aku memiliki dua kakak perempuan, satu kakak laki laki dan satu adik perempuan.
            Kurasa hidupku tak seindah saudaraku yang lainnya, sangat terasa perbedaan diantara kami, (bagiku) ibuku seperti yang haus akan harta ayahku, ia terlalu rakus. Kurasa ia lebih mementingan dirinya sendiri. Aku ini masih butuh pendidikan, aku masih butuh kasih sayang, aku juga sangat membutuhkan sosok ibu dalam hidupku. Namun, pada akhirnya, aku memutuskan untuk tinggal menjauh dari keluarga dan tidak mau tau apapun tentang masing-masing dari mereka. Menginjak bangku sekolah menengah pertama, aku sudah hidup sendiri, rasanya aku seperti mahkuk paling sendirian didunia ini, hingga aku lulus dan melanjutkan sekolah menengah atas di daerah yang cukup jauh dari rumah, tentu saja aku sendirian. Aku tinggal di sebuah rumah kost, beruntungnya aku memiliki tetangga dan lingkungan yang membuat aku nyaman, memang tiap bulan aku menerima kiriman uang saku, namun ibuku tak pernah tau keadaanku. Beruntunglah aku memiliki teman teman yang begitu menyenangkan. Rahmina dan Mahira .. mereka berdua ialah sahabat senasib sepenanggungan.
            Suatu hari, uang kiriman dari ibuku sudah limit, aku belum bayar ini itu, aku belum membeli keperluan sekolah, bagiku keperluan sekolah adalah yang paling utama. Sementara uang yang dikirim oleh ibu padaku, bisa dibilang pas pasan.
Saat itu, aku hanya bisa ikut menginap dirumah temanku dan ikut bantu bantu pekerjaannya di rumah, sehingga aku bisa dapat makan. Aku benar benar tidak punya uang, bahkan untuk makan ..
            Sampai akhirnya aku lulus sekolah, niat untuk melanjutkan pendidikan sangat besar, dan cita citaku menjadi seorang guru sangat tinggi. Namun apa daya, ibuku terlalu tidak-memperdulikan aku.
“Untuk apa? Kelak semuanya akan percuma” katanya ketika aku memintanya untuk membiayai aku kuliah. Saat itu yang kurasa hanyalah sedih dan benci, aku benci karena dikeadaan ekonomi yang bisa dibilang cukup, tapi aku tidak mampu kuliah dan mewujudkan cita citaku.
            Sampai pada suatu hari, kedua orang tuaku akan menghadiri sebuah undangan pernikahan di kota kembang. Bertepatan dengan hari dimana aku mendapat tawaran untuk mengikuti study banding dari perusahaan (kebetulan kala itu aku sudah bekerja). Tanpa pikir panjang, bahkan tanpa restu dari mereka , aku memutuskan untuk pergi mengikuti study banding ke luar negeri. Korea. Berbulan bulan aku menikmati “hidupku” di negeri orang, menyenangkan, namun ada saja rasa rindu akan tanah air bahkan aku merindukan orang tuaku.
            Sepulangnya aku dari korea, aku masih saja mendapat perilaku sama dari ibuku . bahkan aku sempat berpikir, “aku bukanlah anaknya”.
Kemudian hidupku mengalir seperti air, sampai aku bertemu dengan pria yang kini menjadi suamiku. Aku mencintainya dan menikah dengannya, memiliki satu orang putri kala itu, Raffania Chausar, anak perempuannku yang cantik, cucu pertama dari keluarga besar ini. Namun, betapa sial nasibku, menerima kenyataan bahwa ibuku tak mau mengurus cucunya ini . “Ibu tak akan mau mengurus cucu cucu ibu” katanya.
            Hidupku penuh konflik, hidupku penuh liku, sampai akhirnya ayahku yang teramat sangat aku cintai, harus di panggil tuhan. Rasanya seperti ingin ikut mati bersamanya, aku hanya merasakan kasih sayang dari seorang ayah. Aku begitu mencintai ayahku, namun ternyata tuhan lebih menyayanginya.
           Tahun berganti tahun, hidupku terus berubah, hidupku terus membaik, aku memiliki dua orang putri sekarang. Raffania Chausar dan Tiffani Chausar. Kini mereka sudah dewasa, aku kembali ke kotaku lahir, dan ikut tinggal bersama ibuku yang sekarang sendirian dirumah yang besar itu. Selepas kepergian ayah, ibuku menjadi wanita tua yang sakit sakitan. Anak anak nya yang lain rupanya memiliki rasa marah seperti yang kurasakan, tanpa kutau, ibu telah membeda bedakan semua anak anak nya. sehingga timbul amarah dari masing masing dari kami kepada ibu.
            Sebagai seorang anak yang tinggal bersama ibu, aku mau tak mau harus mengurusnya, menjaganya. Namun, hati ini rasanya sangat marah, sangat benci, aku tak jarang mengumpat kepada tuhan atas kondisi ku sekarang ini.
“Aku ini dari kecil sama sekali tak merasakan kasih sayang ibu, aku memiliki seorang ibu hanya sebatas untuk data diri pada beberapa surat surat penting, sosok ayahlah yang selama ini terekam jelas di benakku. Bahkan dalam mimpi sekalipun, aku tak menjumpai sosok ibu”pikirku kala itu.
Pada nyatanya, aku masih mempunyai 4 saudara lainnya, namun mereka sama sekali banyak alasan agar tidak merawat ibu.
            Kini ibu sudah lumpuh, sudah tidak bisa melakukan apa apa, bahkan untuk menganti pakaiannya saja pun tidak mampu. Aku hanya bisa menangis, dan berdoa pada tuhan, agar menyembuhkan ibu dari sakitnya.
Setelah aku berdamai dengan amarahku, aku berdamai dengan rasa sakitku puluhan tahun, aku berdamai dengan bathinku sendiri. Kini, aku bisa menerima keadaan ku yang harus merawat dan menjaga ibu dengan sepenuh hatiku, rupanya aku menyayangi ibuku, rupanya aku mencintai ibuku. Dan kehilangan ibuku adalah kesedihan yang aku takutkan.



READ MORE - Saat Hati Berbicara